Menggambar Harapan dan Kecemasan*

Kami tentu datang bukan dengan ‘kepala kosong’. Kami, setidaknya saya datang dengan kesadaran diri bahwa selama empat puluh jam dalam lima hari ini akan bersama-sama berproses dalam Workshop Riset dan Kajian Budaya di Riwanua, tepatnya di Perumahan Dosen Unhas Blok H/14, Tamalanrea, Makassar.

Hari pertama, kepala kami setidaknya membawa harapan dan kecemasan. Mahluk seperti apa kecemasan atau kekhawatiran ini? 

Dia mungkin serupa hujan yang mengakibatkan kecemasan basah lalu berikutnya banjir. Menyiapkan payung tidak serta-merta menghilangkan kecemasan itu. Sebab keretakan ada dimana-mana yang mungkin menjadi jalan alternatif kelembapan. Kecemasan mungkin adalah waktu yang tergantung pada fungsi-fungsi pikiran kita. Setidaknya ada empat kawan yang menggambar jam dinding sebagai bentuk kecemasannya. Ada jam dinding tunggal, ada jam dinding yang disertai pertanyaan, ada jam dinding dengan kesemrawutan di kepala, dan Zacky Coret mengambar kekhawatirannya dalam wujud banyak jam dinding. Waktu, menurut Plato ialah ‘gambaran keadaan sempurna yang bergerak’ seperti kecemasan yang tak lain adalah diri kita sendiri yang mungkin sudah mengakar lama, entah kapan kecemasan itu mulai bertumbuh.

By the way, pada paragraf sebelumnya yang menceritakan kecemasan kami, Zacky Coret adalah satu-satunya nama kawan yang saya sebutkan dengan jelas, bukan karena memori kepala saya mengingatnya, sebab ingatan saya kurang bagus jika soal nama. Lantas bagaimana saya mengingatnya? Karena dia satu-satunya kawan yang meninggalkan jejak identitas pada gambarnya, dan ingatan saya jika menyangkut visual cukup bagus.

Meski saya kesulitan mengingat nama kawan-kawan pada hari pertama kebersamaan kami. Tapi saya mengingat kisah dari pilihan nama panggilan mereka. Misal bla bla bla Tentakel ini adalah kawan dari Wakatobi yang sedang melakukan penelitian pada mahluk lucu bernama gurita. Ada kawan yang memilih menjadi anggota keluarga bla bla bla Adams, ingatan saya tentang keluarga Adams masih cukup segar karena belum lama ini saya menonton Wednesday, film serial di Netflix. Ada juga kawan yang menegaskan dirinya tidak punya hubungan kekerabatan dengan Wakil Presiden Indonesia, bla bla bla tidak pake Amin. Ada kawan dari keluarga bla bla bla Chan, di Jepang panggilan Chan digunakan untuk bayi, anak kecil, dan gadis remaja, kawan satu ini memang pernah tinggal dan belajar di Jepang selama sebelas bulan. Selain dari keluarga Chan, ada juga kawan dari keluarga bla bla bla Bacan, kawan satu ini lahir dan bertumbuh di lingkungan yang pemandangannya adalah hamparan sawah. Kawan satu ini mengungkapkan kebahagiannya karena saat ini bekerja dan melakukan riset di Bacan yang sejauh mata memandang adalah lautan luas. Begitulah saya mengingat identitas sebagian kawan-kawan saya dari ceritanya, metode perkenalan yang digunakan Kak Ady Palugada—Nurhady Sirimorok— dan Ai alias Harry Isra ini cukup efektif bagi yang mengalami kesulitan mengingat nama.

Setelah menggambar harapan dan kecemasan, menjelang siang kecemasan kami berlanjut dengan tugas membuat pertanyaan. Beruntung energi sudah bertambah dengan  menu makan siang sederhana tapi asyik, sayur daun singkong, perkadel jagung, tempe goreng pedas, telur dadar, sambal yang pedasnya menghangatkan, serta nasi yang tidak ketinggalan. Seolah-olah makan tidak sah tanpa nasi.

Kecemasan kali ini tidak kita tanggung sendiri, kecemasan kali ini kami rasakan secara berkelompok. Kami dibagi menjadi enam kelompok, beranggotakan 4-5 orang tiap kelompoknya. Saya, Besse, Uul, Fatul, dan Darul tergabung dalam kelompok enam, kami sepakat mencemaskan masalah perkawinan, terutama uang panai yang banyak dicemaskan lelaki yang hendak mempersunting perempuan etnis Bugis-Makassar. Menurut kami, masalah perkawinan ini tidak selesai hanya dengan uang panai tinggi, masalah perkawinan ini cukup kompleks karena menyangkut dua orang merencanakan masa depan bersama-sama, bagaimana perempuan punya posisi tawar, serta bagaimana sistem kekerabatan sangat mempengaruhi sebuah perkawinan.

Kawan kelompok satu mencemaskan budaya berkendaraan, kelompok dua mencoba melihat keberadaan musik indie, kelompok tiga cemas dengan ketergantungan masyarakat Indonesia pada beras seperti menu makan siang kita hari ini yang menyajikan nasi, lalu kelompok empat mencoba  melihat lebih jauh tentang budaya nongkrong, dan kelompok lima berencana melihat kehidupan kawan-kawan etnis Tionghoa melalui perayaan Cap Go Meh.

Selain kecemasan kami juga datang dengan banyak harapan-harapan. Sesuatu yang terang seperti matahari dan lampu, sesuatu yang bertumbuh seperti pohon-pohon dan gedung-gedung tinggi, sesuatu yang juga tinggi ada deretan pegunungan, sesuatu yang tajam seperti pisau, sebuah pencapaian seperti ketangguhan perahu mengarungi sesuatu yang luas dan topi toga, serta ada beberapa kawan yang menggambarkan harapannya mewujud buku.

Hari pertama ini kami berkenalan dengan mahluk bernama ‘budaya’. Kak Dandy mengenalkan mahluk ini meski beberapa di antara kami mungkin sudah mengenalnya. Jadi mahluk apa itu ‘budaya’? Menurut Kak Dandy, mahluk ini buatan manusia, bisa dipelajari, dipraktikan bersama-sama, kadang kita menerimanya apa adanya. Kadang berubah, tidak hanya tumbuh dari dalam, ‘budaya’ itu bisa apa saja jadi tidak terbatas hanya karya seni, bisa dipunyai semua kalangan, dan tidak melulu berbasis etnis. Jika sudah berkenalan dengan ‘budaya’, mari kita menelusuri lebih jauh tentang kajian budaya atau Cultural Studies pada hari kedua ini. Seharian ini kita akan kembali bersama-sama selama delapan jam.

*Catatan atas proses workshop riset kajian dan budaya di Riiwanua, harı ke-I.

Teks oleh Imhe Mawar

Ilustrasi oleh Zacky Coret