Mencari Makna di Riwanua*

Pada mulanya

Tak ada yang istimewa

Dari sapiens

Hingga suatu hari

Langit tergetar

Terbelah oleh petir yang dibawa taifun dari

Kejauhan,

Kejauhan di utara sana.

Pintu langit terbuka!

Dunia seketika riuh, akibat 

Kata-kata yang jatuh berhamburan;ke bumi.

Saat itulah

Sapiens memutuskan turun dari pohon

Beramai-ramai mereka temukan

Teka-teki berceceran

Mereka pungut pelan-pelan dan mulai

Menyusun

Mantra demi mantra

Puisi demi puisi

Hikayat demi hikayat

Mereka berebut!

Terus berebut

Hingga tanpa sadar kata-kata yang luruh ke

Bumi itu telah diciprati darah

Dan akhirnya mereka mengerti

Mengapa harus mereka telaah dengan hati-hati

Apa yang langit berikan.

Puisi ini berjudul ‘Suatu Riwayat tentang Akal’. Saya menulisnya lima tahun lalu. Dan saya tidak bisa tidak, mengingat puisi ini ketika Bu Melani meminta kami untuk menyebut identitas kami dalam tiga kata, dan melekatkan identitas dengan cara serupa pada teman-teman kami.

Hal itu tidak semudah yang diduga. 

“Sungguh kah tiga kata yang kami pilih itu telah mewakili diri kami? Tepatkah kata-kata yang kami pilih itu mewakili identitas teman-teman kami?”

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terlintas dalam benak saya -saya menduga tak jauh berbeda dengan teman-teman, inilah alasan mengapa saya hanya memberikan dua kata pada Kak Besse: ‘Pare-Pare’ dan ‘Hijab’. Saya bingung memilih kata ketiga dan saya tidak ingin asal mencomot saja. Padahal kemarin kami sekelompok dan Kak Besse orang yang amat ceria sehingga sekilas tampak begitu terbuka untuk perkenalan baru. Namun, sehari bagi saya tidak cukup untuk mengenal seseorang.

Dalam keseruan itu, Mega juga menolak satu ‘identitas’ yang diberikan oleh Ma’ruf. Menurut Ma’ruf, Mega merupakan seorang penulis yang baik. Namun Mega merasa tidak demikian sehingga ia mengambil kesempatan yang ada untuk menolak apa yang coba dilekatkan pada dirinya. Mega tentu merasa lebih tahu kemampuan tulis-menulisnya, Mega merasa lebih mengenal dirinya.

Kesempatan melekatkan identitas itu pun digunakan Ma’ruf untuk menenangkan Mega, bahwa menulis tidak sesulit yang Mega bayangkan kalau dilakukan bersama-sama. Namun, bagi Ayu -yang duduk di samping Ma’ruf, sikap ini so sweet sekali sehingga ia kemudian sempat menggoda Ma’ruf dan kami semua tertawa menyaksikan peristiwa itu.

Seperti pula ketika dua kawan yang terlambat saling bertukar kertas, entah mengapa bagi kami itu lucu sekali karena terkesan seperti dua orang lelaki bertukar pengakuan secara rahasia dan malu-malu.

Saya merasa kegiatan pagi itu tak ubahnya gambaran proses identitas dibangun dalam masyarakat. Seorang melekatkan identitas pada orang lain. Tatkala proses itu menjadi konsumsi publik, masyarakat melakukan semacam reinterpretasi bukan hanya pada identitas yang diberikan, tetapi juga mengenai bagaimana identitas itu diberikan. Pandangan khalayak kemudian seolah dapat mengintervensi makna atas relasi yang awalnya terjalin hanya antara dua orang di antara kami.

Proses semacam itu tentu ada dan menyejarah dalam masyarakat. Sehari dua hari, satu makna yang tercipta mungkin masih bisa diklarifikasi oleh mereka yang terlibat dalam penciptaannya. Namun bagaimana setelah puluhan tahun atau abad berlalu? Tokoh-tokoh telah wafat dan segala apa yang kita sebut sebagai tradisi kini menjadi demikian anonim untuk dipertanyakan, apa yang harus kita lakukan untuk mengklarifikasi? 

Kak Nurhady, melalui contoh kasus tentang Batara Gowa I Sangkilang, menyarankan sebuah jawaban: bacalah sejarah secara kritis.

Setidaknya, inilah yang kemudian coba kami praktikkan ketika berusaha memahami bagaimana wacana tentang uang panaik diekspresikan dalam masyarakat, baik melalui berita, meme, video pendek, dan sosial media. Kata demi kata, gambar demi gambar, hingga tekanan suara kami periksa hati-hati. Akhirnya, perubahan-perubahan bentuk pesta perkawinan pun pelan-pelan diungkapkan. Kesimpulan diskusi itu tak jauh dari dugaan adanya kecenderungan masyarakat untuk mengobjektifikasi perempuan seiring menggejalanya komodifikasi perkawinan. 

Maka, saya pikir satu bait lagu Ruangbaca dapatlah kiranya merangkum aktivitas seharian itu:

“Di belantara kata/ ku mencari makna//

Tentang dunia/ tentang manusia//

Di belantara kata// ku mencari dirimu//”

*Catatan atas proses workshop riset kajian dan budaya di Riwanua, harı ke-II.

Teks oleh Fathul Karimul Khair

Ilustrasi oleh Ayu Puspita