Kemungkinan dan Siasat*
“Apa itu Indonesia?” tanya Ibu Melani Budianta membuka sesi workshop hari ini. Setiap orang menyebutkan bermacam-macam jawaban untuk pertanyaan tersebut, seperti: Pancasila, upacara bendera, Jakarta, dll. Dari sini kita dapat mengamati bagaimana jawaban-jawaban berbeda tersebut terbayangkan dari 25 orang dari kami dengan latar yang beragam. Menariknya, semua jawabannya dibayangkan secara bebas, berdasarkan pengalaman dan ingatan kami masing-masing tentang Indonesia, sehingga makna Indonesia yang sebelumnya terasa kaku kini terasa longgar. Dalam kajian budaya, makna bergantung pada ruang dan waktu atau ‘siapa yang mengatakan apa’. Jadi, kenapa Indonesia itu Jakarta? Kalau benar begitu, apakah Samarinda yang ada di Kalimantan juga bisa disebut Jakarta? Secara administrasi negara, tentu ini keliru. Tapi berdasarkan gejala yang terjadi di Samarinda, ini belum tentu salah. Lalu bagaimana Indonesia bisa terbayangkan sebagai Jakarta? Sejak kapan Indonesia adalah Jakarta? dst. Rententan pertanyaan ini terus menggema di dalam kepala saya, mungkin juga begitu di dalam kepala teman-teman yang lain.
Berangkat dengan pemahaman makna tentang Indonesia yang belum selesai, dan mungkin tidak akan pernah selesai, kami selanjutnya menyelami pengalaman orang-orang yang berhasil menciptakan makna tentang lingkungan mereka melalui buku Meniti Arus Lokal Global: Jejaring Budaya Kampung. Buku ini mengisahkan orang-orang yang berkomunitas untuk menghidupkan kembali kampung-kampung mereka di tengah geliat aktivitas penduduk kota yang individualis. Buku ini menggerakkan pikiran kami untuk menjemput ingatan-ingatan yang lama tertinggal, tentang kebersamaan dan kehangatan yang pernah kami rasakan di kampung halaman kami. Aga misalnya, kawan dari Flores ini bercerita tentang Sako Seng, praktik budaya dari kampung halamannya, di mana orang-orang baku panggil (baca: saling mengajak) untuk saling membantu secara bergilir menanam jagung di lahan-lahan mereka. Ada juga Fathul dan Santika, kawan asal Sulawesi Tenggara yang berbagi cerita tentang praktik budaya komunitas nelayan di Wakatobi. Namun yang ini disayangkan. Karena campur tangan birokrasi, kegiatan yang awalnya diinisiasi oleh komunitas dan sudah berlangsung lama, berujung pada konflik kepentingan antar warga, sehingga praktik budaya ini perlahan tergerus. Kedua kisah tersebut adalah salah satu di antara banyak kisah berkomunitas yang diceritakan dalam diskusi kami. Lebih jauh, Nurhady Sirimorok menjelaskan fenomena-fenomena tersebut dan menamakannya dengan commoning, yang berarti kerja bersama yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mengambil manfaat dari dan menjaga sebuah ruang bersama.
Sama istimewanya dengan kegiatan-kegiatan belajar yang lain, kami menyimak Mirwan Andan berbagi pengalaman tentang ruangrupa yang menjadi direktur artistik documenta fifteen di Kassel, Jerman. Orang-orang yang terlibat di documenta fifteen menggunakan kesempatan ini untuk memamerkan commoning dari Indonesia atau yang mereka perkenalkan dengan nama budaya lumbung, sama seperti yang diceritakan kawan-kawan sebelumnya. ruangrupa juga mengundang seniman dari negara lain yang mempraktikkan budaya commoning untuk memamerkan aktivitas mereka di pagelaran tersebut. Praktik lumbung ini merespon perspektif orientalis Eropa, yang sejak jaman penjajahan sampai sekarang, sekedar mencomot apa yang mereka amati di wilayah jajahan dan membawanya ke barat untuk diproduksi sebagai ilmu pengetahuan, yang kemudian diajarkan kembali ke kita. Praktik budaya lumbung ini mendorong arus balik yang membawa pesan penting kepada dunia barat bahwa Indonesia dan negara-negara bekas jajahan lainnya punya obat mujarab untuk sistem kapitalis yang merugikan bukan hanya orang-orang di wilayah bekas kolonial mereka, tapi juga diri mereka sendiri dalam semua aspek kehidupan.
Hari ini berakhir dengan menyusun rencana penelitian lapangan yang akan dilakukan keesokan harinya. Kami pun diingatkan untuk tetap sadar dengan etika penelitian. Saya sebenarnya khawatir dengan bagaimana saya akan menggunakan pengetahuan yang saya dapatkan dari ruang pelatihan ke kehidupan nyata, tapi kemudian saya teringat dengan kajian budaya dan berpikir, mungkin kekhawatiran ini merupakan konstruksi sosial, sesuatu yang sebenarnya bisa saya siasati.
*Catatan atas proses workshop riset kajian dan budaya di Riwanua, harı ke-III.
Teks oleh Arham Bakri
Ilustrasi oleh Widya Sari Asis