Bincang Gembira*

Sedikit tidak percaya pada kemampuan diri ialah perasaan berulang-ulang dan melelahkan, saya merasa seperti ada banyak kerikil yang membebani isi kepala (walau kecil, tapi banyak), sehingga saya menjadi begitu sibuk berlalu lalang, bertemu orang-orang dengan penuh harap. Ada yang mengangkat kerikil itu satu per satu lalu membuangnya ke dasar laut.

***

“Sayamo kak,” dengan sigap saya nyeletuk pada sesi penentuan siapa yang akan memanen bincang gembira di hari keempat. Ya, kusebut “bincang gembira” sebab di sepanjang perjalanan dan dihadapkan banyak sosok, saya begitu sulit menemukan ruang belajar dengan nuansa seperti ini. Tidak kaku dan penuh tawa.

Lantas, bagaimana euforia kami di hari keempat?

Seperti hari-hari sebelumnya, bincang gembira selalu menyuguhkan pengetahuan, pengalaman, energi positif, dan tentunya masakan empat sehat lima sempurna. Dengan latar belakang yang beragam tidak menjadikan kami sosok yang “siapa paling tahu” tapi menjadikan kami sosok yang “saling memberi tahu”.

Sebetulnya di hari keempat kami akan mengunjungi kawasan Rammang-Rammang ataupun kampung nelayan Untia sebagai progres lanjutan kami, namun beberapa hari ini langit terus menerus menumpahkan tangisannya. Cuaca yang ekstrem menjadi alasan utama bagi kami untuk menunda melakukan kunjungan.

Alih-alih berbicara tentang langit yang sepertinya sedang tidak mood untuk berkawan, di hari keempat kami menyaksikan bersama sebuah karya, yakni film dokumenter “Ibu Bumi” yang membuat saya tersanjung. Sepanjang saya menyaksikan film dokumenter, sepertinya “Ibu, Bumi” menjadi salah satu kesukaan saya. Saya tidak ingin membocorkan isi dari “Ibu, Bumi” pada tulisan ini agar siapapun yang membacanya turut menyaksikan dan melahirkan perspektifnya sendiri. Film dokumenter ini harus ditonton langsung bagi siapapun yang tertarik, terutama para perempuan. Kak Zahra, sutradara lahirnya karya ini membagi pengalamannya kepada kami selama proses panjang film dokumenter ini dibuat. Setelah menyimak, saya tidak hanya mengapresiasi filmnya, tapi proses yang tidak mudah itulah yang turut layak untuk disimak dan dipelajari.

Bincang gembira selalu membuat kami lupa waktu. Sejam rasanya hanya sepuluh menit. Setelah menyantap masakan empat sehat lima sempurna, kami berbincang mengenai etnografi. Dimulai dari bagaimana metode etnografi ini berjalan pada tatanan masyarakat. Ada Kak Adi yang kembali membagi pengalamannya bertemu sekumpulan remaja, mengamati cara mereka bertindak tutur dan berinteraksi. Ibu Melani yang juga turut bercerita tentang ia yang nyemplung dalam suatu grup WhatsApp yang kemudian menjadi satu penelitiannya. Hingga autoetnografi yang muncul sebagai bentuk kritik terhadap etnografi itu sendiri. Tidak hanya teori, Kak Adi memberi kami waktu untuk mempraktikkannya dengan menulis autoetnografi secara deskriptif berdasarkan pengalaman, kemudian dibacakan oleh teman yang duduk di samping kami masing-masing.

Banyak hal yang melahirkan semangat dan kepercayaan diri saya selama empat hari terakhir di tengah kegiatan ini. Semakin saya belajar, semakin saya sadar bahwa saya belum menjadi apa-apa. Layaknya sebuah pisau yang semakin digunakan maka akan semakin tumpul, dan kita perlu untuk terus mengasahnya. Tuturan Ibu Melani yang mengatakan bahwa, “kecemasan itu perlu, karena hal itu yang membuat kita semakin terdorong,” sepertinya akan tertanam di benak saya.

*Catatan atas proses workshop riset kajian dan budaya di Riwanua, harı ke-IV.

Teks oleh Fadilla Umma Syam

Ilustrasi oleh Kartika