Autoetnografi dan Proses Kreatif*
Lima hari telah berlalu sejak kedatanganku di Makassar. Lima hari yang basah, hujan turun tak henti-hentinya. Daun-daun berguguran, banjir dan angin kencang menyertainya. Demi Workshop Riset dan Kajian Budaya, kami tetap hadir di Riwanua.
Sesi awal dimulai dengan pembacaan panenan hari kemarin. Dilus membacakan dengan tulisan yang menarik. Kemudian tugas autoetnografi dibacakan beberapa peserta. Widya, salah satu teman kami yang paling unik, menjadi peserta pertama.
Widya menceritakan pengalamannya saat mengikuti kelompok kajian agama di SMA. Sebuah kelompok yang ingin membentuk negara Islam, namun akhirnya dibubarkan oleh negara. Mendengarkan Widya membacakan tugasnya membawa saya seperti masuk ke dalam cerita yang penuh gejolak; di satu sisi Widya tetap ingin berteman dengan teman-teman yang berjenis kelamin laki-laki, dan di sisi lain ada larangan-larangan yang dipaksakan oleh orang-orang dalam kelompok itu agar Widya tidak bergaul dengan kaum Adam. Bukan muhrim, kata mereka. Yang lebih menarik lagi bagi saya adalah Widya akhirnya bisa keluar dari kelompok itu ketika dia duduk di bangku kuliah dan memblokir kontak orang-orang dalam kelompok kajian itu.
Cerita Ma’aruf, kawan kami yang pernah kuliah filsafat ini, juga tidak kalah menarik. Dia bercerita tentang ciuman pertama yang dia rasakan saat masih remaja. Tapi bukan itu yang sebetulnya membuat tugas autoetnografi Ma’aruf menarik. Yang menarik adalah latar tempat dan waktu yang membuat adegan ciuman pertama itu mungkin; Ma’aruf tinggal di sekitar Kawasan Industri Makassar (KIMA), di mana orang-orang bekerja sebagai buruh pabrik dengan jam kerja tetap. Ciuman pertama Ma’aruf terjadi tepat ketika rumah kekasihnya itu kosong.
Segera setelah itu, kami melanjutkan pembelajaran tentang autoetnografi dan etnografi. Kami menggambar sesuatu yang berkaitan tentang autoetnografi dan etnografi menjadi tugas kami, mendiskusikan isu dan menentukan tugas akhir dalam kelompok kami. Ada satu hal yang selalu terngiang-ngiang di kepala saya saat kami berdiskusi tentang kemungkinan karya akhir kami; bahwa karya yang baik mesti memiliki 3B: Baru, Berbeda, dan Bermanfaat.
Setelah kegiatan selesai, perasaan saya bercampur aduk. Saya bangga, senang, tapi juga resah karena mesti berpisah dengan teman—apalagi beberapa di antara peserta tidak tinggal di Makassar. Di lingkungan Riwanua yang menyenangkan, kami mengakhiri sesi dengan melakukan acara bakar-bakar, karaoke, dan makan bersama. Mungkin puisi ini bisa mewakili perasaan saya yang sulit saya deskripsikan—puisi yang saya tulis saat pertama kali tiba di Riwanua.
Di Riwanua
bukan masjid 99 kubah di Losari,
bukan pula hutan batu di Rammang-Rammang
atau air terjun di Bantimurung
tetapi sungguh o… Riwanua dan Tamanlarea,
tempat ku hirup doa ibuku yang diantar angin mamiri,
agar jadi ilmu
agar jadi rindu
*Catatan atas proses workshop riset kajian dan budaya di Riwanua, harı ke-5.
Teks oleh Eko Muji Santoso
Ilustrasi oleh Mega UA