Pasang-Surut #2: Begitu Detailnya Pramoedya Ananta Toer

“Peristiwa besar yang menjadi latar cerita seringkali tidak akan kita rasakan sampai ia jadi hari lalu, karena kita sibuk mencari jalan keluar dari persoalan yang kita hadapi saat itu. Kita kerap lalai kalau kita juga merupakan bagian dari satu kisah yang sama, yang dengan sedikit kemauan barangkali kita mampu mempengaruhi alur suatu peristiwa.”

Pikiran ini menggelayut sepanjang siang setelah menyelesaikan ‘Perburuan’ karya Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya ditulis ‘Pram’). Dua pekan lalu, klub baca kami sudah sepakat untuk berjumpa lagi dan membicarakan buku ini.

15.00 – Besse dan Rahma datang. Mereka membuat teh.

15.30 – Saya dan Besse pergi membeli gorengan.

15.45 – Saya, Munib, dan Besse menyusun ruang pertemuan. Rahma menata karya di ruang pameran.

  1. 47 – Kalau tidak salah, Neriah, keponakan kami yang masih balita, menangis gara-gara Besse. Keterlaluan.
  2. 15 – kami masih menunggu Kak Aslan. “Tapi ironi memang ini ‘Perburuan’ nah,” saya menyeletuk.

Tepat setengah lima sore, kami pun memutuskan untuk memulai kegiatan Klub Baca kami. Namanya juga Pasang-Surut, kadang banyak dan kadang tidak. Namun sebenarnya, berapa pun yang hadir tidak jadi soal -asal ada seorang kawan yang bisa diajak mendiskusikan karya-karya sastra seperti ini lagi.

Munib belum membaca novel ini, jadi diskusi dimulai dengan Besse yang menceritakan garis besar alur ‘Perburuan’.

Dibandingkan dengan novel ‘Sang Alkemis’ karya Coelho yang didiskusikan dua pekan sebelumnya, ‘Perburuan’ memiliki alur jauh lebih kompleks dan menegangkan. Sebab, dalam novel setebal kira-kira hanya 160-an halaman itu, Pram berkisah tentang suatu peristiwa yang terjadi tidak lebih dari 24 jam.

“Berarti mirip-mirip sama ’24 Jam Bersama Gaspar’?” tanya Munib.

“Iya, tapi menurutku ini lebih kompleks. Ya, tapi tulisan Sabda Armandio itu seru juga alurnya,” kata saya.

Peralihan tanggal 16 – 17 Agustus 1945 barangkali merupakan hari paling menegangkan dalam sejarah Indonesia sebagaimana digambarkan oleh buku-buku teks sejarah di sekolah dahulu. Beberapa hari sebelumnya Jepang telah kalah dan Soekarno-Hatta sedang ‘diculik’ pemuda ke Rengasdengklok untuk menyusun naskah proklamasi.

Sementara di Blora, dalam suasana tegang puncak Perang Dunia II itu, seorang anak baru selesai disunat. Namanya Ramli. Acara sunatan Ramli ini tentu tidak ada dalam buku sejarah manapun soal kemerdekaan, tetapi saat itu, bisa saja benar-benar terjadi, dia ada di sana sedang duduk tafakur setengah berkhayal mengkhidmati kenyataan kalau ia baru selesai sunat sembari menanti calon kakak iparnya yang menghilang pasca gagalnya pemberontakan PETA di Blitar sekitar Februari 1945.

Kurang lima belas menit pukul lima sore Kak Aslan tiba dan segera bergabung. Ia datang jauh-jauh dari UNM dan melewati kemacetan yang panjang. Tidak lama setelah itu pun Unu juga muncul, ia baru pulang dari kantor.

Kak Aslan, yang semasa S2 menulis tesis tentang novel ini kemudian menambahkan kalau Pram memiliki cara yang unik dalam menggambarkan relasi antara penjajah dan kaum terjajah: Melalui deskripsi tubuh tokoh-tokohnya.

Orang Jepang memiliki tubuh yang cukup sejahtera. Sementara para pejabat kampung yang berpihak pada Jepang bonyok karena ditinju berdarah-darah tapi masih tetap setia. Mereka yang melawan penjajahan, seperti tokoh utama dan kawan-kawannya, digambarkan sebagai kere yang kurus berlalat akibat kudis. Mirip pesakitan.

Kelak, para kere kudisan ini mungkin menjadi pahlawan. Saya tergelitik di sini. Sejak kecil kita disesaki gagasan kalau seorang pahlawan pastilah ‘gagah dan berani’. Kurus berkudis dengan bulu ketiak berdiri tentu jauh dari definisi ‘gagah’, tetapi tampilan itu merupakan harga untuk suatu keberanian menentang peguasa yang zalim. Sayang sekali kenyataan pahit ini kurang populer dalam ide-ide kita tentang kepahlawanan.

Alur yang singkat, padat dengan deskripsi yang kaya namun tidak kehilangan fokus merupakan kekuatan lain novel ini. Begitu menurut Besse dan kami bersepaham dengannya. Unu pun membandingkan novel ini dengan karya Pram lain berjudul ‘Gadis Pantai’. Menurutnya, Pram memang memiliki kemampuan deskriptif yang luar biasa.

Dalam ‘Perburuan’, Pram mampu menggambarkan keindahan alam Blora dengan cara yang tidak berlebihan dan tidak romantik. Keindahan alam itu tergambar apa adanya, bukit, jembatan, kesibukan orang di pasar, kali berair kuning, pengemis yang buang air dan mandi, peternak memandikan sapi dan kerbau, dan ibu-ibu yang mencuci. Matahari dan bulan ada di sana, tetapi Pram mampu menghadirkan kerasnya kenyataan hidup yang membuat kita selalu luput mencerap dan menikmati keindahan alam itu.

Di tengah-tengah ketegangan ketika tokoh-tokoh dalam novel tengah menyusun rencana menyikapi kabar kalau Jepang telah kalah, Pram tidak segan-segan memasukkan gambaran seekor induk ayam berkotek-kotek mengais makanan diikuti anak-anaknya yang berukuran belum sebesar kepal tinju orang dewasa. Dan di sanalah keindahannya: gambaran kenyataan yang tidak berlebih-lebihan seperti kecenderungan banyak novelis muda mengeksploitasi matahari tenggelam dengan banyak definisi dan interpretasi soal cinta dan patah hati.

“Percakapan antara anak dan ayah saat Den Hardo menemui mantan Wedana Karangjati bagiku merupakan suatu scene paling intens,” ungkap Besse.

Menurutnya, percakapan antara anak-ayah itu tidak akan mungkin bisa sejujur itu jika Wedana Karangjati tahu kalau dalam gulita Den Hardo, anaknya, merupakan lawan bicaranya. Orang tua, dalam novel ini, seolah-olah baru bisa jujur dan mendengarkan anaknya dengan adil bilamana mereka telah dilekati perasaan sedih tiada tara akan kehilangan buah hati.

Kepicikan orang tua semacam ini juga tampak saat Lurah Kawilangan secara semena-mena melanggar kesetiaan Ningsih, anak perempuannya sendiri. Ia enggan Ningsih bersuamikan Den Hardo yang dianggap rendah karena telah menjadi kere akibat pemberontakannya. Olehnya, ia justru mengatur agar Den Hardo ditangkap Jepang, sehingga Ningsih bisa menikah dengan orang lain yang lebih mapan: Den Karmin, sahabat yang mengkhianati Den Hardo sehingga pemberontakan mereka gagal.

Ketika kemudian rencana Lurah Kawilangan amburadul dan ia ditinju sampai hina oleh tentara Jepang, pembaca disodorkan perasaan puas yang galau oleh Pram. Kata Kak Aslan, adegan itu menciptakan satu perasaan kasihan lantaran Lurah Kawilangan merupakan bangsa terjajah, ia mewakili orang Indonesia seperti kita. Tetapi kita juga puas saat ia dipukuli karena merasa itulah ganjaran yang patut buat orang oportunis, tidak berprinsip, yang mengukur kebahagiaan anaknya secara egois menurut parameternya sendiri, yang mengukur kepatutan seorang manusia hanya dari pangkatnya semata, bukan dari cita-cita mulia yang mereka perjuangkan.

Malam kian beranjak. Kami mengakhiri diskusi. Sebelum pamit, Kak Aslan sempat bicara tentang perlunya ruang-ruang seperti klub baca ini diciptakan kembali.

Kami mengenang masa-masa ketika Kolong Sastra di kampus kami dulu masih kerap dikunjungi para pembaca buku untuk berdiskusi dan merangkai ide-ide baru. Tiba-tiba, saban pagi kita mungkin menemukan pembicaraan di sana termuat di koran-koran lokal dan nasional, didebat atau kemudian dibicarakan kembali. Saat-saat ketika iklim literasi masih begitu kental dan dekat dengan kami.

13 September 2023

Fathul Karimul Khair, koordinator Pasang Surut