Pasang-Surut #4: Antara Teknik Penceritaan dan Kemasukakalan Karya
Pasang Surut telah di volume keempatnya! Pada pertemuan yang membahas Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu kepunyaan Mahfud Ikhwan ini, saya masih terlambat datang. Perjalanan ke Riwanua terasa begitu jauh, macet di sore hari begitu membuat risau. Sepertinya, banyak hal yang saya lewatkan karena keterlambatan.
Jika melihat ke belakang dan mengingat kembali aspek apa saja yang telah dibahas di klub buku ini, topik apa kiranya yang tidak sempat saya dengarkan sedari awal? Aduh, kenapa macet sekali! Padahal perjalanan dari Unhas menuju Riwanua tidak pernah terasa segenting begini. Mungkin proses pembacaan-pendiskusian pertama hingga ketiga telah menjadi momen yang begitu saya nantikan. Ya, walau kedatangan saya masih terus melewati waktu mulai pembahasan.
Saya datang ketika kak Fathul mendakwa betapa Mahfud Ikhwan terlalu jahat pada karakter yang ia tulis. Waduh! Apa ini, ada apa? Saya seharusnya datang lebih awal! Tentu saja saya menyesali lompatan-lompatan gagasan yang saya dengar. Namun, apa mau dikata selain time waits for no one. Setelah duduk mendengar selama beberapa menit, saya baru bisa mengikuti ritme pembahasan novel ini. Pun saya menyadari, bahwa ada rekaman via hp yang sengaja dibuat sebagai dokumentasi kegiatan dan ada satu teman yang berada di ruang zoom demi bisa ikut membicarakan bacaan ini. Syukurlah. Olehnya, dalam proses penulisan harvesting ini, saya mengandalkan impresi dan rekaman yang ada.
Partisipan pada pertemuan ini hampir sama dengan pertemuan sebelum-sebelumnya yakni kak Fathul, kak Uul, kak Ai, kak Besse, kak Munib, saya, dan satu orang di ruang zoom bernama Riswan. Kak Uul, kak Besse, dan kak Fathul ternyata sudah menyampaikan halnya masing-masing sebelum saya datang. Benar, saya melewatkan banyak hal! Jadi, Pasang Surut seperti dibagi menjadi dua babak. Pada babak pertama, masing-masing orang akan menyampaikan hal menarik versinya—sambil satu dua yang lain akan menambah detailkan jika memiliki persama-bedaan pemikiran terhadap hal terkait. Lalu, di babak kedua pembahasan akan berjalan lebih sambung-menyambung—di mana topik bahasan kadang menjadi terlalu sepintas atau bahkan terlalu fokus. Begitulah polanya menurut apa yang saya amati dan tidak mesti selalu demikian.
Kisah yang disajikan dalam novel ini lebih serius dari pada transaksi menjual cerita untuk satu dua bungkus rokok. Kak Uul menegaskan pada teknik penceritaan yang mesti disoroti. Dalam hal ini, struktur cerita yang berlapis-lapis dan dinarasikan di warung kopi oleh pencerita layaknya pembual menjadi strategi tepat untuk menguatkan narasi dalam kisah tragis Dawuk.
Dari sudut pandang kisah cinta yang diangkat, menurut kak Besse, tidak ada yang spesial. Kisah cinta dan pembunuhan yang biasa-biasa saja, di mana ada karakter pasangan tipikal si cantik dan si buruk rupa. Pun demikian, keputusan untuk membuat deskripsi cerita yang biasa-biasa saja ini menjadi tidak mendetail terasa tepat untuk dilakukan. Entah di mana Rumbuk Randu pada peta, entah kisah magis masyarakatnya benar-benar nyata.
Semuanya masuk akal untuk dituliskan “bolong-bolong” di beberapa adegan, jelas kak Ai. Sebab teknik penceritaan dan identitas naratornya telah diusung sedemikian rupa, maka pembaca memaklumi ketidaksempurnaan deskripsi yang ada di novel ini. Malah, telah menjadi sesuatu yang masuk akal sebab naratornya sangat berkemungkinan untuk menceritakan hal yang mengada-ada. Ini menjadi aspek yang termuat dalam karya sastra, disebut sebagai plausibilitas atau kemasukakalan sebuah karya. Ya, patut dipertanyakan kebenarannya sebab si penjual cerita, Warto Kemplung, mungkin-mungkin saja hanya membual mengenai cerita yang ia jual.
Teknik penceritaan dibuat menonjol sebab dari segi cerita tidak terlalu, ungkap kak Besse. Teknik pernceritaan dibuat menonjol sebab ingin menceritakan sejarah, sambung kak Uul. Kira-kira begitulah gambaran betapa hidupnya pembahasan ini.
Memang, tidak ada lagu yang bisa mewakili kesedihan cerita ini. Saking kelabunya kisah hidup Dawuk, beberapa dari kami mengaku perlu mengambil jeda untuk lanjut membaca kepiluannya. Cerita ini bukan hanya cerita romantis, ada isu sejarah di dalamnya. Kak Uul menjelaskan bahwa novel ini berupaya menekankan bagaimana sejarah kadang ditulis oleh orang yang berkuasa. Hingga tidak heran jika banyak kisah kelabu dari orang seperti Dawuk yang luput dibicarakan, dan bahkan ada kisah yang menjadi konsumsi umum malah sangat berkebalikan dengan kisah yang sebenarnya terjadi. Kak Fathul memberi rujukan pada satu nasihat lama, yang berbunyi “Takutlah pada kesalahan yang ada di atas dan ada di bawahmu”. Setelah ditelusuri, kisah kelabu Dawuk memiliki jejak sejarah. Rasa benci yang ia terima dari orang di kampungnya memiliki cerita panjang yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Betapa rupa nasibnya terlampau buruk, sebab kesalahan generasi sebelumnya mesti ia rangkul erat.
Meski kelabu dan terkesan intens untuk dibaca dalam sekali duduk, saya menyukai kontras antara gaya bercerita narator dengan apa yang diceritakan. Dalam hal ini, kisah tragis yang dialami Dawuk dan dituturkan dengan suasana warung kopi penuh jenaka oleh Warto Kemplung. Selain itu, kondisi bahwa narator dimungkinkan melakukan interaksi dengan pembaca menjadi daya tarik tersendiri. Kak Uul pun menambahkan, cerita ini memiliki unsur metafiksi dan cerita ini sadar bahwa ini adalah fiksi, naratornya sadar akan hal itu. Ini kali pertama saya membaca cerita bernarasi tragedi ditulis dalam pendekatan demikian. Betapa strategi tersebut berhasil menaik-turunkan suasana menegangkan yang dibangun dalam setiap lembaran novel ini.
Pembahasan pun mengalir ke pertanyaan apakah realisme magis disebut demikian karena sebuah cerita memiliki unsur magis atau ada persoalan atau kategori lainnya. Kak Uul menganggap hal ini menarik untuk dibicarakan, agar benar tidaknya novel ini disebut sebagai salah satu contoh realisme magis pada karya sastra lebih memiliki dasar kuat. Dawuk yang mampu berlari seperti terbang, “mengunci” pergerakan tokoh lainnya, hingga kakeknya yang muncul dan menghilang secara ajaib di ruang persidangan. Apakah hal-hal tersebut bisa menjadi alasan menyebut cerita ini sebagai novel bergenre realisme magis?
Inilah yang membuat saya senang membaca dan berdiskusi di kelompok baca bernama Pasang Surut!
Kak Ai yang lebih lambat datang dari saya, memberi penjelasan terkait pertanyaan tadi. Setahunya, realisme magis adalah label yang diberikan oleh orang Eropa di luar dari genre yang telah ada. Kondisi di mana realitas memiliki status yang sama dengan fiksi atau realitas sudah punya kualitas fiksi. Jadi, bukan persoalan ada magis dan unsur supranaturalnya tapi kesulitan untuk membedakan mana fiksi dan mana asli.
Lalu, kak Munib bertanya terkait mengapa Harry Potter disebut realisme magis. Betapa seru pertemuan kali ini!
Nah, itu fantasi! Itu satu genre yang berbeda, jawab kak Ai. Harry Potter tidak punya satu konteks realitas yang menjadi rujukan. Ia memiliki semesta rekaan. Memang, pasti ada rujukan seperti ada kereta dsb., tapi tidak punya rujukan pada peristiwa atau kejadian nyata. Oh! Seperti peristiwa pembantaian PKI di Dawuk? Kak Uul menyambung untuk mengkonfirmasi penjelasan yang diberikan kak Ai.
Masih membahas mengenai realisme magis, Riswan memberi komentar lanjutan. Bahwa di balik cara bertutur di luar realitas, ada trauma kolektif yang coba ditekankan. Jadi, ketidaknormalan realistasnya bukan sekadar untuk berbeda dari cerita kebanyakan tapi ada hal tertentu yang lebih baik untuk disampaikan dengan genre seperti itu.
Tidak terasa, kami begitu terlarut dalam bahasan ini. Namun, topik mengenai bacaan untuk Pasang Surut selanjutnya pun tidak bisa dihindari—yang menjadi penanda pertemuan kali ini akan segera diakhiri. Kota Palopo yang Terbakar pun diusung untuk menjadi bacaan bacaan selanjutnya. Wow! Saya sebaiknya tidak datang terlambat lagi.
Kak Fathul benar-benar menutup pembahasan novel ini dengan ucapan, terima kasih atas partisipasinya yang agak liar!
Nurul Muthmainnah, peserta tetap Pasang Surut