Jaga malam adalah perbincangan seputar film Asia di Riwanua. Pemilihan kawasan Asia sebagai pokok bahasan didasarkan bukan hanya pada urusan kedekatan geografis, tapi terutama urusan kultural, ekonomi, sosial, sejarah dan politik. Selain memperbincangkan kekhasan film yang muncul di kawasan ini, akan dibahas pula pertautan dan perkembangan mutakhir film Asia di tingkat global.

Hal-hal yang diperbincangkan dalam Jaga Malam adalah: apa-apa saja yang menjadikan film Asia sebagai moda pengetahuan yang mengandung kompleksitas dan jalinan dengan beragam gesturnya, di antaranya: bahasa, humor, imajinasi, identitas, resistensi, dan sebagainya, yang selalu berkutat atau tumpang tindih dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana “mengalami film Asia” adalah bagian dari penjajaran atau pertemuan masa sekarang, masa depan dan yang lampau; bagaimana mengakses dan mengalami “peristiwa menonton” film Asia serta kemungkinan untuk mengarsipkan peristiwa tersebut.

Jaga Malam terjadi setiap dua minggu sekali di Riwanua pada malam Ahad pukul 19.30-21.00.

Jaga Malam

Aneka Ria Wahana Menonton Film

10 Agustus 2024

Tanpa perlu membahas persoalan status legal dan ilegal, saat ini semakin mudah tayangan diakses dan pada saat bersamaan menyebabkan semakin sulitnya menentukan pilihan tontonan atau sama sekali tidak menonton. Apa yang jamak terjadi adalah pilihan tontonan dipengaruhi oleh tren tayangan yang viral, yang dipromosikan jor-joran, hingga yang masuk ke sirkuit festival. Layaknya musik dan buku, film begitu berlimpah. Bagaimana menemukan preferensi, menentukan atau memilih akses, sekaligus melebarkan preferensi tontonan tanpa merasa hanya mengisi atau membuang waktu luang? Seperti apa akses terhadap film Asia untuk jangkauan publik? Sesi ini mencoba mendekati hal-hal tersebut, khususnya perihal akses, sembari merambah bagian-bagian yang terkait dengan hal tersebut.

Jaga Malam

Jebakan Melihat-Yang-Lain Dari Jauh

24 Agustus 2024

Cara pandang melihat-yang-lain sudah sedemikian lamanya terjadi pada dunia film, terutama di tempat asal film ditemukan dan dikembangkan pertama kali: barat. Sadar atau tidak, dirasa atau tidak, panorama yang tidak lagi sebatas lanskap, sinema juga bisa masuk dan meliuk  dalam keseharian mengajak penonton untuk terlibat menikmatinya dengan segala macam cucuran emosi. Kesenjangan cerita ditingkahi dengan gincu sinematografi dan akal-akalan representasi. Kepekaan sebagai penonton diuji ketika berbagai stempel festival film, khususnya festival di Eropa dan Amerika — yang dinarasikan sebagai ajang bergengsi — menghiasi film-film demikian. Sesi ini akan meninjau bagaimana perlakuan terhadap tontonan-tontonan tersebut, juga melihat bagaimana representasi “yang lain” itu digaungkan.