Pasang Surut #1, Edisi Coba-Coba: Berkelana Bersama Santiago dalam The Alchemist, Paulo Coelho
Tak usah gegap gempita, sunyi senyap pun jadi
Bagai air yang pasang dan surut di lautan
Tetap terjadi berulang walau tanpa
pengawasan dan penonton
Tepat sepekan lalu, 30 Agustus 2023, perjumpaan awal sebuah bookclub terjadi. Kami membahas Sang Alkemis karya Paulo Coelho pada sore yang terang-benderang itu. Perbincangan santai diawali dengan mengungkapkan impresi awal setelah membaca buku tersebut.
Saya sendiri merupakan pembaca yang baru menuntaskan buku tersebut tepat sebelum diskusi dimulai. Sedang beberapa anggota diskusi yang lain telah membaca buku ini untuk kedua atau kesekian kalinya. Ada pula yang telah menuntaskan sang buku berpuluh tahun lalu, sementara ada juga yang baru sampai di halaman 40.
Tidak masalah. Keragaman pengalaman perjumpaan dengan buku ini membuat perbincangan berjalan dinamis karena setiap orang berbicara menurut kapasitas dan pengalaman pembacaannya masing-masing.
Saya menjadi orang pertama yang mengutarakan impresi. Bagi saya, buku ini berbeda dengan buku fiksi lain yang sudah saya baca sebelumnya. Instead of penasaran dengan akhir cerita, every part of the book is like petuah yang saya baca pelan-pelan, berulang-ulang, berhenti sejenak untuk bisa saya internalisasi sebelum akhirnya lanjut membaca kisah perjalanan sang tokoh utama.
Saat menulis harvesting ini pun, saya merasa tidak begitu tertarik dengan alur ceritanya saking fokus saya yang tersita pada refleksi sana-sini yang dijumpai pada setiap bagian buku. Saya sadar kalau ‘first time’ experience untuk membaca buku memang sulit untuk dirasakan kembali, karena jika pun saya membaca ulang kembali buku ini, impresi saya sedikit banyak akan berubah.
Beberapa pertanyaan yang mengemuka seperti: Apakah kau merasa menjadi sang tokoh utama? Atau apakah kau mampu membayangkan bentuk dan genre apa jadinya jika buku ini difilmkan? Atau apakah buku ini mengingatkanmu pada buku-buku yang pernah kau baca?
San, ia baru saja mulai dan sedang membaca buku ini, merasa sangat relate dengan sang tokoh utama. Dia larut dengan semua perjalanan yang dilalui oleh Santiago. Ia merasa menjadi tokoh utama yang sedang menimbang-nimbang keputusan untuk memulai petualangannya, seperti dikisahkan sejak awal cerita.
Perasaan ini sedikit berbeda dengan saya yang justru merasa hanya menjadi pengamat atas setiap fase petualangan yang dijalani tokoh utama. Mungkin saja hal ini terkait erat dengan situasi, pengalaman membaca, dan realitas hidup yang sedang kami hadapi masing-masing.
San yang baru saja menamatkan Pendidikan strata satunya kini merasa sedang berada di persimpangan jalan untuk memutuskan pilihan-pilihan hidup di hadapannya. Dengan demikian ia dapat merasakan pergolakan hati sang tokoh utama sementara saya yang telah melakukan beberapa pilihan hidup lebih berfokus pada refleksi atas kejadian-kejadian selama petualangan dalam buku ini.
Fathul, yang telah mengunjungi buku ini untuk kedua kalinya, mengaku dapat memvisualisasikan film yang berdasar pada petualangan yang memperlihatkan indahnya bentang alam Andalusia, Selat Gibraltar, dan mencekamnya Gurun Sahara. Namun, menurutnya, alur perjalanan yang ditawarkan dalam cerita ini menjadi kurang menarik karena adanya bagian-bagian buku yang membosankan untuk diangkat ke layer kaca dengan gaya penceritaan alur tiga babak ala Hollywood.
Unu, yang juga membaca kembali buku ini setelah tahun-tahun berlalu, mengungkapkan pola cerita yang mengikuti template hero pada buku ‘The Hero with a Thousand Faces’, yang menemukan senjata untuk melanjutkan perjalanan dan petualangannya. Hampir semua template hero pada buku tersebut melekat dalam diri Santiago, sang tokoh utama dalam novel Coelho ini. Akhirnya, mau tidak mau, Unu terus teringat pada buku karya Joseph Campbell itu sepanjang pembacaannya terhadap Sang Alkemis.
Kami sempat mengambil jeda untuk mengantar Bota ke gerbang Riwanua. Bota merupakan seorang teman yang mengaku merantau ke benua sebelah namun setiap dua bulan sekali tiba-tiba bangun tidur di Riwanua. Ajaib, memang. Setelah ia pamit, debu-debu beterbangan di lapangan sepak bola seberang jalan. Matahari sore bersinar terik di musim kemarau yang kering dan panas, dan kami pun melanjutkan diskusi.
Kak Andan mengungkapkan dia membaca buku ini ketika masih duduk di bangku kuliah dan hanya sedikit ingat isi dan detail cerita di dalamnya. Namun, menurutnya, dalam pembacaan semacam ini pun kita tak boleh lalai memeriksa latar belakang penggubah buku, Paulo Coelho, beserta posisinya dalam konteks literasi Amerika Latin in general dan Brazil in particular.
Beberapa fakta tentang Coelho yang tidak diakui sebagai sastrawan di Brazil sebelum buku ini, atau tentang saat penulisan buku ini Coelho sedang bermukim di Perancis, dan bahwa buku ini sebagian besarnya berlatar tempat bekas jajahan pemerintah Perancis di masa lalu. Fakta-fakta ini tentu sangat perlu diperhatikan untuk melihat lebih dalam makna-makna yang terkandung di dalam buku, contohnya saja pemilihan nama sang tokoh utama, yang mungkin saja mengingatkan Coelho pada kota Santiago di Chile.
Fathul yang juga membaca karya-karya Coelho lainnya menambahkan kalau ada gejala keseragaman karakter pada setiap tokoh utama cerita gubahan Coelho. Kunjungan keduanya pada buku ini, membuat Fathul sadar betapa berbedanya kesan pertama yang dia rasakan beberapa tahun lalu, saat pertama bertemu buku ini, dia memprediksi akan diberikan suguhan penjelasan tentang Sejarah para alkemi di dunia. Tentu saja itu sangat berbeda dengan isi buku. Pun dengan kesan keduanya yang mau tidak mau membuat dia terus membandingkannya dengan karya-karya Coelho yang lain.
Selama perbincangan berlangsung, wacana untuk menjadikan bookclub ini memiliki tema utama untuk membahas Sulawesi Selatan juga tercetus. Tentu kami yang ada, mengamini hal ini, buku Sang Penasihat pun diusulkan untuk dibaca selanjutnya. Tapi kemudian diskusi berlanjut pada karya-karya Pramoedya yang tentu juga akan sangat menarik untuk diperbincangkan. Buku seperti Winnetou oleh Karl May juga sempat disebut. Akhirnya, kami sepakat untuk memperbincangkan Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer untuk pertemuan selanjutnya. Saat adzan maghrib berkumandang kami pun mengakhiri perbincangan. Beberapa di antara kami berjalan beriringan ke sumber suara adzan yang memanggil.
Makassar, 6 September 2023
Besse Puspitha Syarif, peserta tetap Pasang Surut