Ketika berbicara tentang perfilman Indonesia, tidak mungkin untuk mengabaikan peran signifikan Garin Nugroho. Dalam konteks ini, Garin muncul sebagai sosok yang sangat berpengaruh. Pelibatan elemen-elemen tradisional hingga modern pada kisah yang diangkat dalam karya-karyanya mengukuhkan posisi Garin sebagai seorang sutradara yang tidak hanya mendapat sambutan hangat dari kalangan intelektual di dalam negeri, tetapi juga berhasil menarik perhatian dunia internasional. Keberhasilan dan ketenaran Garin tidak hanya berasal dari jumlah karya yang telah dihasilkannya, tetapi juga dari eksperimentasi yang dilakukannya dalam menantang bentuk konvensional perfilman Indonesia.
Tim Rumah Film menawarkan pandangan berharga mengenai karya-karya Garin. Mereka menganggap film Opera Jawa (2006) sebagai puncak kejayaan estetika Garin. Film ini diakui mampu membongkar cara kita menonton dan menafsirkan karya film.[i] Dalam analisisnya pada film Opera Jawa dan Teak Leaves at the Temple (2008), Hikmat Darmawan melengkapi pernyataan Tim Rumah Film bahwa Opera Jawa sebagaimana Teak Leaves at the Temple adalah film yang bercakap tentang hakikat film itu sendiri.[ii] Dengan demikian, pada dua film ini Garin tidak hanya bermain-main dengan hibriditas seni, tetapi juga menghadirkan gagasan-gagasan penting. Ditambah lagi, Ekky Imanjaya menyebut Garin sebagai seorang sutradara senior yang gigih dalam menyuarakan isu-isu sosial dan politik bahkan sebelum era reformasi tiba.[iii] Karenanya, Garin setia pada pemahaman bahwa film tidak lain merupakan media untuk menyampaikan gagasan.
Namun, respons terhadap karya Garin tidak semata-mata merujuk pada apresiasi positif dari kalangan pengkaji film, sebab berbagai kritik juga hadir menyertai pujian-pujian itu. Sering kali, film-film Garin mendapat tanggapan yang kurang menggembirakan pada aspek naratif yang digunakan. Salah satu contoh kritik yang mendasar dan terperinci dapat ditemukan dalam tulisan berjudul Mau Omong Apa Sampeyan, Mas Garin? yang ditulis oleh Totot Indrarto dan diterbitkan dalam Lembaran Bentara Kompas pada tahun 2003.[iv] Totot secara cermat menyajikan argumen mengenai pentingnya keutuhan dalam penceritaan sebuah film. Salah satu film Garin yang Totot soroti adalah Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002), yang menurutnya, memiliki kecacatan aspek naratif. Bagi Totot, film ini tidak berangkat pada hukum sebab-akibat di jelujur ceritanya. Sekalipun Totot mengkritiknya dengan tajam, ia juga memberikan contoh dari karya Garin sendiri tentang konsep keutuhan cerita.[v] Cinta dalam Sepotong Roti (1991) dan Daun di atas Bantal (1998) adalah dua film Garin yang menggunakan teknik penceritaan relatif jernih, tetapi tidak dimiliki oleh film Garin lainnya.[vi] Kendati, dua film ini tetap memanggul gagasan kritis tentang isu-isu sosial di Indonesia.
Pada kesempatan lain, Hikmat Darmawan—terlepas sebagai pembelaan terhadap Garin atau bukan—memberikan tanggapan atas berbagai kritik yang diarahkan kepada Garin. Ia mengatakan bahwa Garin memang “mementingkan estetika gambar” yang pada akhirnya menimbulkan kesan penceritaan bukanlah fokus utama bagi Garin.[vii]
Singkatnya, perdebatan-perdebatan para kritikus pada film Garin berkutat pada “penting atau tidaknya” dan “relevan atau tidaknya” sebuah keutuhan cerita dalam film untuk memberikan pemahaman kepada penonton. Bagi penulis, pembahasan seputar dua hal tersebut tampaknya adalah hal kesekian untuk dibahas. Sebab dalam karya-karyanya, seperti kata Ekky Imanjaya, Garin telah berhasil menyampaikan dan mengkritik isu-isu yang kontekstual di Indonesia. Dalam tulisan ini, daripada mempersoalkan apakah keutuhan cerita membuat para penonton sulit untuk mengikuti alur yang dihadirkan dalam film, kita dapat melihat pengaruh keutuhan cerita terhadap wacana yang dihadirkan. Menurut penulis, kaitan antara keduanya lebih penting mendapat perhatian sebab, sebagaimana diyakini oleh Garin, memuat hal-hal bersifat ideologis, kritis, dan politis.
Dua puluh tahun setelah kritik Totot terhadap film-film Garin, Garin tidak henti-hentinya bereksperimen. Pada tanggal 1 Desember 2022, film baru Garin ditayangkan secara perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Puisi Cinta yang Membunuh—selanjutnya disingkat PCM—yang kemudian dapat ditonton di bioskop-bioskop Indonesia pada tanggal 5 Januari 2023, menjadi film horor pertama Garin. Ia mengklaim bahwa PCM adalah sebuah “jalan baru untuk genre horor Indonesia yang berbicara tentang trauma, kekerasan, dan kemanusiaan.”[viii] Garin mengakui bahwa PCM memikul wacana relevan yang ada di Indonesia saat ini. Dalam tulisan ini, penulis akan menelisik bagaimana ketidakutuhan penceritaan justru menggelincirkan wacana yang dielu-elukan oleh Garin, sutradara utama dari PCM. Namun, sebelum itu, kita perlu memeriksa bentuk film ini sebagai bagian dari eksperimentasi Garin.
Sekelumit Puisi, Cinta, dan Pembunuhan
PCM adalah slasher horror dengan alur yang cenderung rumit berkat penggunaan strategi elipsis oleh kedua sutradaranya, Garin Nugroho dan Azhar Kinoi Lubis. Strategi lompatan waktu dan pemotongan informasi tersebut menghasilkan pengembangan cerita yang terpisah dalam dua alur berbeda. Keduanya dihubungkan bukan berdasarkan kronologi waktu, melainkan sebab-akibat. Kisah pertama menggambarkan kehidupan Ranum yang dihantui perasaan bersalah atas segala insiden pembunuhan terhadap orang-orang yang selama ini membuatnya tidak nyaman bahkan terancam. Perasaan bersalah ini juga sejalan dengan keyakinan Ranum bahwa ia memiliki teman-tak-terlihat yang terikat secara emosional dengannya. Kisah kedua mengikuti aktivitas Anna dan Laksmi yang lebih banyak bercakap-cakap tentang kehidupan Ranting-Ranum. Jika kisah pertama mengandung banyak misteri, maka kisah kedua mencoba memberi petunjuk terkait misteri tersebut. Belakangan, kita akan mengetahui bahwa insiden pembunuhan yang terjadi berkenaan dengan trauma Ranting, teman-tak-terlihat Ranum yang sebenarnya adalah roh kembarannya. Ranting ditempatkan sebagai tokoh yang trauma terhadap kata-kata dan menginginkan kematian bagi siapa pun yang mengganggu Ranum.
Kerumitan PCM juga dapat kita rasakan sejalan dengan kebaruan yang coba diterapkan Garin dalam genre horor Indonesia. PCM menyuguhkan banyak monolog yang mengandung metafora, simbolisme, dan elemen stilistika yang khas sebagai perangkat linguistik dalam puisi. Ini bukan hal baru bagi Garin. Hampir semua dialog antartokoh dan monolog dalam film-film Garin sebelumnya bernuansa puitis. Perbedaannya, kali ini Garin mendudukkan puisi-puisi sebagai instrumen penting dalam alurnya.
Ada setidaknya tiga puisi yang menjadi kunci dalam alur PCM. “Puisi Cinta yang Membunuh” yang dituturkan oleh Mawar Eva De Jong—pemeran Ranting dan Ranum—sebagai pembuka film dan petunjuk bahwa puisi-puisi yang hadir akan beriringan dengan pengkhianatan dan pertumpahan darah. “Hidup Ada” dituliskan oleh Hayat untuk meyakinkan Ranting bahwa betapa ia jujur mencintai Ranum. Puisi ini kemudian menjadi titik balik bagi Ranting. Terakhir, “Adam, Hawa, dan Durian” dimusikalisasikan dan disandingkan dengan alunan musik rok. Puisi ini berfungsi sebagai paralelisme antara tokoh Ranting dan Ranum. Melalui puisi inilah kita mendapat petunjuk terhadap dua tokoh yang memiliki penokohan berbeda, terhubung satu sama lain. Ketiga puisi di atas adalah puisi-puisi yang dituliskan oleh Garin dalam buku “Adam, Hawa, dan Durian” yang terbit pada tahun 2021.
Selain ketiga puisi di atas yang berangkat dari buku Adam, Hawa dan Durian, Garin juga mendudukkan beberapa puisi lain untuk para tokoh-tokohnya. Ada puisi-puisi yang ditempatkan sebagai pemicu terjadinya pembunuhan yang dilakukan Ranting. Puisi-puisi berbuai gombalan oleh bakal calon korban Ranting ini ditujukan kepada Ranum. Alih-alih takluk, Ranum justru merasa tidak nyaman bahkan terancam. Ketidaknyamanan Ranum akhirnya memicu Ranting untuk membunuh para penggombal itu. Pada gilirannya, terdapat juga puisi yang dihadirkan sebagai bagian dari proses pembunuhan yang dilakukan Ranting. Pada akhirnya Ranting memperingati Ranum untuk, “Jangan percaya kata-kata, laki-laki harus mati, mati, mati!”
Sayangnya, kerumitan ini tampaknya memberikan beban berat pada struktur naratifnya. Sebab kerumitannya justru menghadirkan ambiguitas. Misalnya, penjelasan trauma Ranting terhadap kata-kata justru disandingkan secara konfrontatif dengan penggunaan puisi yang menjadi bagian penting dari setiap pembunuhan yang dilakukan Ranting pada korbannya. Penonton bisa berasumsi kalau gaya pembunuhan semacam itu justru merupakan ungkapan kebencian Ranting terhadap kata-kata. Namun, jika asumsi ini benar adanya, maka ambiguitas cerita kian menjadi-jadi. Klaim ini dapat dibuktikan melalui penelisikan lebih dalam atas sudut pandang tokoh Ranting.
Melihat dari Yang-Tak-Terlihat
Sorotan utama dalam PCM adalah kehidupan Ranum. Namun, alih-alih kita menyaksikannya melalui sudut pandang orang pertama terbatas, kita justru menyaksikannya melalui Ranting, entitas gaib yang pada mulanya tidak diketahui keberadaannya. Hal tersebut dibuktikan dalam dua adegan. Pertama, pada adegan Ranum menyanyikan lagu “Adam, Hawa, dan Durian”. Di sini kita melihat Ranum bernyanyi melalui bidikan bahu (over-the-shoulder-shot) dari sisi Ranting. Teknik bidikan ini meneguhkan asumsi bahwa selama ini, Ranting mengikuti dan mengamati kehidupan Ranum (setidaknya setelah Ranting menjadi roh yang menghantui Ranum).
Asumsi ini juga dipertegas dengan kemunculan tangan yang mengindikasikan sang pemilik tangan, Ranting, berada sejajar dengan pandangan kamera. Teknik bidikan ini mengubah pandangan kita dalam memahami semesta PCM. Rupanya, selama ini kita menyaksikan semesta PCM melalui perspektif entitas gaib.
Artinya, dengan menempatkan Ranting sebagai sudut pandang dominan dan sebagai entitas gaib mengindikasikannya sebagai tokoh yang mahatahu. Ini juga dibuktikan dari hadirnya Ranting pada ruang-ruang privat para tokoh untuk menyaksikan perselingkuhan masing-masing dari mereka yang tentu saja tidak bisa disaksikan oleh tokoh-tokoh lainnya. Persoalannya ada pada proses penghakiman Hayat, penyair yang menyukai Ranum.
Ranting menguji kesetiaan Hayat dengan menyuruhnya menulis puisi menggunakan pensil pemberian ayahnya, sebuah perintah yang mengharuskan Hayat untuk berhadapan dengan traumanya terhadap pensil itu demi mengungkapkan rasa cintanya kepada Ranum. Hayat pun menulis sebuah puisi yang sangat meyakinkan bagi Ranting:
“Cinta harus diwujudkan
maka hidup ada.”
Namun, bagaimana mungkin Ranting sebagai makhluk gaib yang mampu berada di banyak tempat dalam sekejap mata dan melihat keseharian Hayat justru hanya membutuhkan dua baris puisi untuk membuatnya yakin betapa Hayat mencintai Ranum? Bagaimana menjelaskan kemampuan puisi di atas meruntuhkan kebencian Ranting terhadap kata-kata hingga akhirnya memutuskan untuk percaya pada puisi yang lagi-lagi sejatinya merupakan kata-kata Hayat, seorang penyair andal dalam PCM? Pada akhirnya, Ranting yang trauma terhadap kata-kata justru terbuai puisi berdarah yang berisi janji manis bahwa “cinta harus diwujudkan.” Apakah ini adalah kecelakaan struktur naratif dari konsekuensi kerumitan yang diciptakan Garin dalam semesta imajinernya? Mari kita tilik lebih jauh.
Antara yang-Riil dan yang-Mistis
Ada dua hal yang bisa kita refleksikan dari penekanan pada pengelolaan sudut pandang atas entitas gaib. Pertama, PCM berusaha untuk menerobos batas-batas antara dunia gaib dan dunia riil. Ini tidak hanya dilakukan melalui sorotan kamera, tetapi juga melalui penampakan Ranting yang serupa secara fisik dengan manusia. Kedua, dengan sorotan demikian, PCM menawarkan pendekatan psikologis kepada sosok hantu yang berbeda dari film horor Indonesia pada umumnya. Jika mayoritas film horor di Indonesia menekankan pendekatan psikologis melalui efek kejut yang akhirnya mengglorifikasi monstrous feminine, maka PCM menekankan rasa simpati kepada sang hantu. Sebab alasan Ranting menghantui Ranum bukan untuk melimpahkan kebenciannya kepada Ranum, melainkan untuk melindunginya. Sekeji apa pun Ranting dihadirkan, ia adalah sosok yang patut untuk kita beri perhatian.
Dua hal tersebut juga dapat kita temukan dalam percakapan antara Anna dan Laksmi. Dua tokoh ini mewakili dua pemikiran yang berbeda. Anna, seorang supervisi kasus kekerasan di kepolisian, menolak memercayai segala hal yang-mistis. Sedangkan Laksmi, seorang guru pengolah batin, mencoba meyakinkan Anna bahwa baik yang-riil maupun yang-mistis akan selalu berdampingan satu sama lain. Dalam konteks kekerasan yang dilakukan Ranting, Anna mengatakan, “saya tidak percaya hantu, kekerasan itulah yang menjadi hantu dalam kehidupan.” Dalam kesempatan lain, Laksmi mencoba memperjelas keyakinannya. Ia mengatakan:
“Semua dalam hidup, seperti Adam dan Hawa. Berpasangan. Ada dunia hitam, putih, positif, negatif, rasional, dan mistis. Baik-buruk, keduanya hidup bersama, berdampingan. Diibaratkan seperti Barong dan Rangda. Keduanya ada dalam jiwa manusia. Karena itu, kita meletakkan sesajen di beberapa tempat untuk menghormati kedua jiwa tersebut, termasuk untuk jiwa yang hitam. Jika kita tidak tempatkan dengan baik-baik, bisa-bisa jiwa hitam itu menggunakan jiwa manusia untuk merusak kehidupan.”
Dari pernyataan ini, Laksmi mencoba mengaitkan antara yang-mistis dan yang-riil. Lebih lanjut lagi, Laksmi menjelaskan:
“Semua manusia itu punya energi yang besar, tapi kadang-kadang bisa merusak jika kita tidak bisa mengendalikan diri dalam situasi tertentu. Seperti yang saya alami waktu kecil sering diejek dan disekap karena dianggap anak iblis.” (Pernyataan ini diiringi dengan cuplikan masa kecil Laksmi yang mengeluarkan energi supranatural untuk menunjukkan kemarahannya).
Solusi yang pada akhirnya Laksmi tawarkan adalah menunggu Ranting menemukan sisi putih dari diri Ranting atas masalah yang terjadi. Laksmi menyarankan Anna untuk menunggu hingga, “…semesta yang mengatur pada ulang tahun [Ranting-Ranum] nanti.”
Pada akhirnya, perdebatan santun antara Laksmi dan Anna ini kemudian membuat Anna mengalami transformasi cara pandang. Anna yang semula menolak memercayai hal-hal gaib akhirnya beralih keyakinan. Perubahan yang dialami Anna juga berimbas pada cara pandangnya terhadap masalah yang dialami Ranum. Anna akhirnya bersepakat pada solusi Laksmi terkait permasalahan Ranum-Ranting.
Jika kita kaitkan dengan titik balik dari transformasi penokohan Ranting—yang cenderung tiba-tiba atau melompat—dalam pernyataan Laksmi, maka kita bisa menarik satu kesimpulan. Alih-alih menyebutnya sebagai kecelakaan struktur naratif, kita bisa menyimpulkannya sebagai bentuk implementasi dari jiwa hitam-putih menurut konsep spiritual Bali yang diamini Laksmi. Sederhananya, Ranting menolak membunuh Hayat bukan karena ia yakin pada kata-kata Hayat, melainkan karena adanya seberkas hidayah yang menggugah Ranting dan adanya perasaan kasih Ranting terhadap saudara kembarnya, Ranum. Karena itu, Ranting memutuskan untuk memberi Hayat kesempatan mewujudkan cinta kepada Ranum. Jika asumsi ini benar, maka masalah yang lebih krusial mendapati jalannya untuk kita bicarakan.
Sebuah Kepasrahan
Mula-mula, kita perlu mempersoalkan jenis-jenis kekerasan yang hadir di dalam PCM. Uraian tentang hal tersebut secara gamblang kita dapatkan dari presentasi Anna dan penjelasan Laksmi.
Berikut yang bisa kita simpulkan: pertama, kekerasan fisik ekstrem (dengan contoh kekerasan pada kasus Reynhard Sinaga, Robot Gedek, dan Rian dari Jombang); kedua, kekerasan verbal (dengan contoh sandiwara radio dan komik Pendekar Puisi Berdarah di Tutur Tinular); dan ketiga, kekerasan fisik yang merupakan bentuk dari pembalasan dendam (yang dilakukan oleh Ranting dan Laksmi-kecil).
Ada tiga hal yang membuat kita menyoroti bentuk-bentuk kekerasan di atas. Pertama, contoh kasus pada nomor satu dan dua adalah tindakan kriminal yang hadir tidak hanya dalam semesta PCM, tetapi juga dalam dunia kita. Pada masanya, kasus-kasus ini mendapatkan perhatian penuh dari masyarakat Indonesia dan mancanegara. Bukan karena, misalnya, aksi Raynhard Sinaga, yang dilakukan oleh orang Indonesia di Inggris, melainkan karena tindakan-tindakan kriminal tersebut mencederai kemanusian. Dari sini, kita bisa mengasumsikan bahwa melalui presentasi Anna, kita sebenarnya mendengar pesan yang ingin disampaikan Garin dan Azhar sebagai jalan pintas di tengah kerumitan alur dan penceritaan PCM. Sebuah jalan pintas untuk memahami bahwa PCM berada dalam jalur-jalur kemanusiaan terlepas dari penempatan Ranting sebagai pelaku pembunuhan. Toh, Ranting juga pada akhirnya berubah dan menghentikan aksinya. Namun, “kemanusiaan seperti apa?” adalah pertanyaan penting lainnya.
Kedua, melalui strategi elipsis, presentasi Anna terkait bentuk-bentuk kekerasan di atas disandingkan dengan adegan pembunuhan yang dilakukan Ranting dan kehidupan masa lalunya. Penjelasan kekerasan ekstrem dipresentasikan oleh Anna tepat setelah Ranting membunuh Rendy, korban pertama Ranting. Sedangkan penjelasan tentang Pendekar Puisi Berdarah dipresentasikan oleh Anna ketika Ranum mulai mengingat masa kecilnya bahwa Tutur Tinular merupakan sandiwara radio favoritnya bersama saudara kembarnya. Karenanya, presentasi Anna diibaratkan sebagai catatan kaki atas kondisi Ranting-Ranum. Karenanya juga, pembunuhan yang dilakukan Ranting memiliki kesamaan—untuk tidak menyebutnya disetarakan—dengan apa yang dilakukan oleh Robot Gedek, Reynhard Sinaga, dan Rian dari Jombang. Dengan kata lain, bisa jadi, Ranting adalah bentuk personifikasi gaib dari kekerasan per se.
Ketiga, ketika bentuk-bentuk kekerasan di atas disamakan dengan kasus Ranting, maka yang diharapkan Anna dan Laksmi—sebagaimana juga Garin—adalah munculnya sisi putih dari para pelaku. Di sinilah puncak dari semua persoalan yang mengganjal dalam PCM. Kita bisa menutup mata pada hal-hal yang hitam. Konsep ini mengabaikan realitas kekerasan dan kompleksitas konflik yang mungkin memerlukan solusi lebih pragmatis.
Misalnya, apakah ketika Robot Gedek meminum darah korbannya yang berusia 9-15 tahun kita harus menunggu hingga hidayah datang sehingga Robot Gedek insaf dan bertobat seperti Ranting yang membenci kata-kata, tetapi akhirnya terbuai dengan dua baris puisi? Bukankah ini merupakan suatu sikap kepasrahan? Sebab wacana atas kekerasan yang dihadirkan justru tampak menggiring kita untuk abai terhadap kekerasan itu sendiri.
Garin dan Azhar mungkin dapat membela diri jika kita menganggap kedua sutradara ini tidak sedang fokus pada cara menyikapi kekerasan, tetapi pada bagaimana kita melacak penyebabnya. Melalui teknik analepsis, sekilas kita diperlihatkan masa lalu Ranting-Ranum dan Anna tentang kehidupan keluarga mereka yang retak. Kedua orang tua Ranting-Ranum cerai, sementara Anna dibesarkan oleh ibu yang kejam. Hayat juga dikisahkan sebagai anak yang dibesarkan tanpa ayah. Namun, semua itu runtuh ketika kita melihat bahwa keretakan keluarga dalam PCM lebih dipotret menyerupai takdir daripada sebagai faktor sosial yang memengaruhi Ranting. Ini yang dikatakan Laksmi ketika menceritakan keluarga Ranting-Ranum:
“…anehnya, anggota keluarga selalu bertumbuh menjadi dua. Menjadi guru pengolah batin, atau hidup tak pasti, penuh masalah dan kekerasan. Kisah keluarga Ranum itu pelik sekali. Mereka selalu berada dalam pertengkaran yang hebat. Ketika lahir dua bayi perempuan kembar.”
Lebih parah lagi, Anna secara tegas menguraikan faktor-faktor yang ia yakini menjadi penyebab utama semua insiden kekerasan yang terjadi. Anna menjelaskan:
“Pembunuhan keji sering terjadi karena pelaku menderita patologis yang akut. Psikologisnya sudah terganggu. Namun, ada juga yang melihat dari aspek biologis, aspek genetika, sesuatu yang turun-temurun yang menyangkut kromosom dan kondisi lainnya yang dibawa sejak lahir.”
Dengan kata lain, bagaimana pun Anna menolak pandangan mistis Laksmi di awal, ia meyakini bahwa tindakan kekerasan merupakan sesuatu yang akut, menubuh (embodied), dan terbawa sejak lahir. Sebuah pemahaman yang tak jauh berbeda dengan yang diamini oleh Laksmi. Baik Laksmi dan Anna, mereka memandang bahwa tindakan kekerasan merupakan manifestasi dari karakteristik bawaan yang melekat pada individu. Mereka tampak abai pada pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, atau faktor sosial dalam membentuk pola perilaku individu.
—
Tidak dipungkiri, dengan menggunakan puisi cinta dalam ritual pembunuhan dan tarian sebagai proses pengusiran iblis, Garin dan Azhar berhasil menciptakan nuansa baru dalam film horor Indonesia melalui PCM. Hanya saja Garin abai pada hal dasar yang menghadirkan persoalan-persoalan di atas. Sebuah keabaian yang membuatnya terjebak dalam kecelakaan berulang. Pertama, dua sutradara ini cenderung memaksakan puisi-puisi sebagai paralelisme untuk membentuk keutuhan cerita. Alih-alih utuh, paralelismenya malah menghasilkan ambiguitas penokohan. Kedua, PCM dijadikan media untuk menyandingkan gagasan yang-riil dan yang-mistis untuk menantang dominasi narasi dalam film horor Indonesia, sekaligus sebagai jalan untuk mengangkat kembali konsep spiritualisme Bali.
Gagasan yang disandingkan ini dicoba untuk menghadirkan wacana antikekerasan dan kedamaian sebagai bagian dari nilai-nilai kemanusiaan. Namun, kurangnya penjelasan konteks dalam penceritaan tentang yang-mistis dan yang-riil dalam semesta PCM tampak menggiring semua permasalahan, tanpa terkecuali, ke dalam konsep dualisme hitam-putih ala spiritualisme Bali yang pada dasarnya memiliki konteksnya sendiri. Pada akhirnya, wacana tersebut tergelincir ke dalam lubang kepasrahan atas semua masalah yang mengemuka. Jika kita memaksakan kehendak untuk menyebut PCM sebagai film yang memuat wacana dari ketidakutuhan tersebut, maka kita bisa simpulkan bahwa film ini tidak lebih dari edukasi jenis-jenis kekerasan—yang tentunya bisa kita identifikasi sendiri tanpa PCM—daripada kritik atas kekerasan itu sendiri. Dengan demikian, teknik berkisah yang menekankan ketidakutuhan cerita andalan Garin, nyatanya tidak memuat wacana ideologis, kritis, atau politis seperti yang ia yakini.
Makassar, 2023
Nurul Mizan Asyuni, lulusan Sastra Inggris, Universitas Hasanuddin. Sejak 2020 bergiat di Riwanua, Makassar. Tulisannya tentang sastra dan refleksinya menjadi penggerak masyarakat dipublikasikan di Harian Fajar dan Indoprogress. Saat ini, ia sedang melakukan riset terkait sastra, film dan perempuan. Pada Juli 2023, ia memenangi peringkat ke-3 dalam Sayembara Menulis Kritik Film, Dewan Kesenian Jakarta.
————————————————————————————————————————————————————
Daftar Pustaka
Hikmat, Darmawan. 2019. “Film Sebagai Percakapan Gagasan: Tentang Dua Film Garin Nugroho.” Dalam Ekky Imanjaya & Hikmat Darmawan. 2019. Tilas Kritik: Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012, h. 49-58. Seri Wacana Sinema. Dewan Kesenian Jakarta.
Hikmat, Darmawan. 2019. “Mengapa Film Horor (2).” Dalam Ekky Imanjaya & Hikmat Darmawan. 2019. Tilas Kritik: Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012, h. 1260-1268. Seri Wacana Sinema. Dewan Kesenian Jakarta.
Imanjaya, Ekky. 2019. “Idealism Vs. Commercialism In Indonesian Cinema: A Never Ending Batle?.” Dalam Ekky Imanjaya & Hikmat Darmawan. 2019. Tilas Kritik: Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012, h. 1389-1433. Seri Wacana Sinema. Dewan Kesenian Jakarta.
Indrarto, Totot. 2003. “Mau Omong Apa Sampeyan, Mas Garin?”. Edisi 7 Februari. Kompas, h. 39.
KapanLagiComVideo, “Rilis Horor ‘PUISI CINTA YANG MEMBUNUH’, Garin Nugroho: Nggak Perlu Hantu Di Film Saya,” Short Video YouTube, 4 Januari 2023, 00.46, https://www.youtube.com/shorts/4Dox8JI5IVQ. Diakses tanggal 26 Agustus 2023.
Nugroho, Garin. 2021. Adam, Hawa, dan Durian. Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia.
Nugroho, Garin & Azhar Kinoi Lubis (Sutradara). 2023. Puisi Cinta yang Membunuh. Starvision. 101 menit.
Tim Rumah Film. 2019. “33 Film Indonesia Terpenting 2000-2009.” Dalam Ekky Imanjaya & Hikmat Darmawan. 2019. Tilas Kritik: Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012, h. 518-558. Seri Wacana Sinema. Dewan Kesenian Jakarta.
Catatan Akhir
[i] “Keberhasilan Garin dalam film [Opera Jawa (2006)] ini adalah mencapai puncak dari perjalanan estetikanya sendiri sejak mula ia membuat film dokumenter dan cerita pada awal 1990-an: film-filmnya selalu sebuah percakapan antara yang Jawa, yang Indonesia, dan yang dunia; antara yang modern dan yang tradisional.” (Tim Rumah Film, 2019: 520)
[ii] “Keberhasilan Garin dalam film [Opera Jawa (2006)] ini adalah mencapai puncak dari perjalanan estetikanya sendiri sejak mula ia membuat film dokumenter dan cerita pada awal 1990-an: film-filmnya selalu sebuah percakapan antara yang Jawa, yang Indonesia, dan yang dunia; antara yang modern dan yang tradisional.” (Tim Rumah Film, 2019: 520)
“Artinya, film ini diletakkan dalam naungan pertukaran wacana tentang (hakikat) film sendiri. Dengan menyertakan seni instalasi dan berbagai hibridisasi seni tari dan musik yang berkembang di Jawa masa kini sebagai bagian dari mise en scene yang padat dalam Opera Jawa, Garin sedang bermain-main di taman budaya multimedia. Di dalam budaya multimedia, hibridasi adalah sebuah keharusan alamiah. Dalam budaya multimedia, colongan dan selonongan antarwilayah budaya secara seenak perut dan kurang ajar bukan hanya dimaklumi, bahkan terpuji. Seni tinggi dan seni rendah, seni tradisional dan seni modern, yang lokal dan yang global, duduk bersama di taman budaya multimedia dan bercakap-cakap dengan asyik.” (Darmawan, 2019: 51)
[iii] “Nugroho is a senior director and consistently makes films on political and social issues before and after the Reform, and he definitely belongs to the idealistic group of filmmaking.” (Imanjaya, 2019. 1421)
[iv] Artikel ini dan tulisan-tulisan dalam Lembaran Bentara Kompas lainnya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh Penerbit Buku Kompas dengan judul Bentara: Esei-esei 2004.
[v] “Begitu banyak yang ingin ‘diceritakan’ dalam Aku Ingin Menciummu Sekali Saja [2002], namun satu sama lain tidak memiliki koherensi. Maksudnya, persoalan yang satu tidak muncul sebagai akibat dari persoalan yang lain. Adegan tertentu tidak terjadi sebagai konsekuensi dari adegan yang lain. Persoalan muncul dan adegan berlangsung begitu saja sekehendak pembuat cerita, bukan berdasarkan logika atau ‘hukum sebab-akibat’ yang ada di dalam cerita itu.” (Indrarto, 2003)
[vi] “[Cinta dalam Sepotong Roti (1991) dan Daun di Atas Bantal (1998)] boleh dibilang berbeda, tetapi memiliki kesamaan yang terbukti menjadi keunggulannya: Garin bisa mengelaborasi gagasan yang hendak disampaikannya dengan relatif jernih. Bisa dibilang, itulah yang tidak dimiliki film-film Garin yang lain.” (Indrarto, 2003)
[vii] “Sutradara Garin Nugroho pernah mencanang gagasan sinematisnya sebagai ‘mementingkan estetika gambar’. Artinya, tekanan estetis film-film Garin adalah pada sinematografinya. Garin terkenal sebagai sutradara yang piawai mencipta gambar-gambar yang kuat secara fotografis. Garin juga terkenal dengan film-filmnya yang membingungkan dari segi cerita. Ada kesan, memang, Garin adalah sutradara yang abai cerita.” (Darmawan, 2019: 1267-1268)
[viii] KapanLagiComVideo, “Rilis Horor ‘PUISI CINTA YANG MEMBUNUH’, Garin Nugroho: Nggak Perlu Hantu Di Film Saya,” Short Video YouTube, 4 Januari 2023, 00.46, https://www.youtube.com/shorts/4Dox8JI5IVQ