Pasang Surut #6: Kejatuhan dan Hati, S. Rukiah
Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1950. Sebuah novel lama. Lalu pada tahun 2011 diterbitkan lagi dalam Bahasa Inggris oleh Yayasan Lontar dengan judul ‘The Fall and the Heart”.
Tahun 2017, Ultimus menerbitkan kembali versi Bahasa Indonesia dengan ejaan yang telah disempurnakan. Namun, semua peserta Pasang Surut saat itu merasa desain sampul dari Ultimus seakan dikerjakan asal-asalan.
Saya dan Munib mengira kalau gambar perempuan pada bagian sampul merupakan potret Rukiah. Namun, setelah menimbang-nimbang, Saya menduga kalau tiga gambar perempuan itu ialah tokoh-tokoh dalam novel ini: Dini, Lina, dan Susi.
Sementara gambar tentara dengan ekspresi yang sedang memanggul penderitaan tak tertanggungkan sembari memanggul senjata itu ialah Lukman, kekasih hati Susi yang terlibat dalam revolusi.
Besse, Unu, dan saya, yang telah membaca buku ini merasa tokoh Susi, yang tidak lain merupakan tokoh utama dalam novel ini, sangat lemah.
Susi selalu menceburkan dirinya pada suatu pilihan hidup hanya untuk lari dari keadaan. Ia tidak suka pada sikap ibunya, maka ia memilih ikut Palang Merah Indonesia. Ketika seorang dokter yang merupakan mantan kekasihnya bekerja di unit yang sama sembari membawa istri yang memiliki perawakan seperti dirinya, Susi memilih lari ke tepi ‘garis van Mook’.
Bertemulah ia dengan Lukman, pemimpin gerakan pemuda beraliran komunis yang karismatik. Susi jatuh cinta pada Lukman, tetapi Lukman lebih bersedia memberikan hidupnya pada cita-cita komunis ketimbang pada Susi.
Mereka bercinta dan Susi belakangan tahu kalau dirinya hamil. Namun keadaan menjadi rumit sebab sebelum sempat menikah dengan Lukman, sang pujaan hati telah dituduh pengkhianat akibat gerakannya terafiliasi dengan pemberontakan PKI-Madiun.
Akhirnya ia kembali pada ibu dan keluarga yang sesungguhnya ia benci. Memaafkan semuanya dan mengikuti anjuran ibunya untuk menikahi Par.
Par ialah seorang lelaki mapan yang banyak membantu keluarga Susi di hari-hari penuh kesusahan. Sehingga ada kesan di mana Rukiah hendak pula memperlihatkan kalau pernikahan Susi dan Par ialah pernikahan untuk membalas budi dan mengalah pada keadaan.
Barangkali ini merupakan cara Rukiah menggambarkan kalau dalam masa pecahnya revolusi tidak pernah benar-benar ada pilihan bagi kita, terutama bagi perempuan.
Topik mengenai rumitnya hubungan ibu – anak perempuan juga merupakan satu bahasan yang patut dipercakapkan lebih jauh dalam novel ini.
Beberapa teman mengatakan kalau ibu Susi sangat jahat sebab ia sampai hati memaksa putri-putrinya menjadi sosok perempuan ideal sebagaimana yang ia pahami.
Hal itu mengakibatkan kontradiksi-kontradiksi dalam keluarga mereka dan membuat semua orang frustasi -termasuk pembaca.
Bagi saya sendiri, hal itu dapat terjadi ketika seorang perempuan menikah saat ia belum selesai dengan dirinya sendiri -tentu hal serupa juga dapat terjadi pada laki-laki. Ia masih memiliki cita-cita yang mungkin tidak akan pernah terwujudkan di dalam alam pernikahan.
Oleh sebab itulah tokoh ibu menginginkan anak-anaknya menjadi sosok perempuan seperti yang ia bayangkan. Tujuannya agar anak-anak perempuan itu dapat memperoleh hidup seperti yang sang ibu kehendaki untuk dirinya.
Makanya sepanjang novel kita akan menemukan kalimat-kalimat yang memperlihatkan betapa seorang ibu dapat demikian culas pada anak-anaknya.
Ketika sang anak hendak memilih jalannya sendiri sang ibu akan mengeluarkan kata-kata yang sangat manipulatif seperti,
“Engkau mau membunuh aku. Engkau tidak tahu, betapa kasihku padamu.”
Tema pertentangan antara anak perempuan dengan ibu mereka sebenarnya juga nampak dalam karangan N.H Dini berjudul ‘Keberangkatan’ yang telah dibicarakan dalam Pasang Surut Vol. #2. Polanya mirip: ditulis oleh perempuan yang kurang lebih seangkatan dan bicara tentang momen-momen di sekitar revolusi.
Apakah itu realitas masas revolusi? Ataukah hubungan ibu dan anak perempuan demikian intim sehingga para penulis ini merasa perlu mengangkatnya dalam karya-karya mereka?
Terlepas dari itu, teman-teman bilang kalau tokoh Rukiah kian terlihat lemah sebab volume Pasang Surut sebelumnya, kami membahas ‘Kota Palopo yang Terbakar’ karya Musytari Yusuf.
Seperti berkebalikan dengan “Kejatuhan dan Hati”, novel Musytari justru memperlihatkan keteguhan hati tokoh utamanya.
Hari kian sore dan adzan maghrib berkumandang. Percakapan sore itu pun kami akhiri dengan pisang molen. Selesai.
Fathul Karimul Khair, koordinator Pasang Surut